Tuesday, January 17, 2012

Cerita Tentang Sang Kokoh

Diam dalam gelap bersama nyanyian para jangkrik.
Hati mulai berbicara, bertanya dan kemudian menjawab sendiri apa yang diutarakan dalam diam.
Gelap selalu jadi saksi rapuhnya bangunan yang terlihat kokoh.
Kekhawatiran dan ketakutan menjadi elemen-elemen yang begitu bersahabat atas rapuhnya sang kokoh.
Mungkin sebuah bahu, sebuah genggaman hangat atau bahkan sebuah peluk erat saat ini bisa menjadi sesuatu yg berharga, sesuatu yang dapat menguatkan sang kokoh yang rapuh.
Tetapi ‘disini’ sepi dari ‘manusia’.

Air mata mengalir sebagai tanda sakitnya bagian-bagian yang retak.
Menutup mata kembali bertemu dengan gelap yang tak berbicara dan hanya bisa menyaksikan semuanya.
potongan-potongan itu satu persatu muncul seakan memanggil lebih keras rasa khawatir dan ketakutan sang kokoh. Dengan mata kembali terbuka pelan-pelan badan meringkuk memeluk diri sendiri berharap semua membaik.
Tapi semua itu masih hanya mimpi belaka. Mata yang pelan-pelan terbuka tidak untuk menyembuhkan tapi makin menyadarkan bahwa rapuhnya sang kokoh begitu berkuasa.

Sang kokoh tak sanggup berbicara, tak sanggup untuk meminta pertolongan atas rapuhnya ini. Ia hanya sanggup berdebat dengan hati dan pikirannya sendiri, apakah masih pantas sesorang yang sangat rapuh ini disebut sang kokoh? Berdiri pun ia tak mampu.
Tanah yang begitu mantap untuk pijakan sang kokoh kini seperti bergoyang, seperti menjadi lumpur hidup yang menghisap korbannya kedalam lumpur itu.
Kali ini sang kokoh benar-benar hampir runtuh, ia kembali menutup mata, kembali bersama gelap tanpa nyanyian para jangkrik. Seperti biasa gelap hanya bisa menyaksikan semuanya tapi setidaknya gelap menjadi tempat yang membuat sang kokoh nyaman sementara.

No comments:

Post a Comment